Rumah untuk Sang Tukang Batu
- Senin, 25 Agustus 2025
- Administrator
- 1 komentar
- Dilihat 64 kali

Rumah untuk Sang Tukang Batu
Oleh: Ismunandar, S.Pd.I., M.Pd
Guru Akidah Akhlak MTs N 5 Kulon Progo
Bayangkan seorang tukang batu yang telah mengabdi puluhan tahun pada seorang pemborong. Tangannya telah membangun puluhan, bahkan ratusan rumah megah, kokoh, dan indah. Suatu hari, ia mendatangi tuannya. Wajahnya tampak letih, matanya sayu.
"Tuan," katanya dengan suara bergetar, "izinlah hamba untuk berhenti. Badan ini sudah tak lagi kuat, jiwa ini mulai lesu. Hamba ingin beristirahat dan menikmati sisa hari dengan tenang."
Sang pemborong, yang bijak dan sangat menghargai pengabdiannya, menghela napas. "Permintaanmu kukabulkan. Namun, ada satu permintaan terakhir dariku. Tolong bangunkan untukku satu rumah lagi. Biayanya, kau yang tentukan. Bentuk dan modelnya, terserah seleramu. Anggap saja ini hadiah terakhir untuk persahabatan kita," ucapnya.
Si tukang batu mengiyakan, namun di dalam hatinya, ada rasa gugup dan ingin cepat selesai. Pikirannya sudah melayang pada masa pensiun yang menyenangkan. “Ini hanya formalitas terakhir,” batinnya.
Dia pun membangun rumah itu dengan setengah hati. Pondasinya tidak dibuat sedalam biasanya, batu bata disusun asal rata, campuran semen dan pasir dibuat seadanya. Kayu yang dipilih adalah kayu berkualitas rendah, sengaja ia pilih untuk menghemat biaya dan menyisihkan lebih banyak uang untuk dirinya sendiri. Semua dikerjakan dengan tergesa-gesa, tanpa jiwa, hanya untuk memenuhi kewajiban.
Setelah rumah itu “selesai” — dalam arti seadanya — dia dengan bangga menyerahkan kunci kepada sang pemborong.
Sang pemborong menerima kunci, memeriksa rumah sekilas, lalu tersenyum. Dia kemudian mengembalikan kunci itu ke tangan si tukang batu.
"Terima kasih untuk semua pengabdianmu. Rumah ini, dengan segala jerih payahmu, adalah hadiah dariku untukmu. Selamat menikmati masa pensiunmu di rumah impianmu sendiri," ungkap sang pemborong.
Seketika itu juga, dunia si tukang batu seakan runtuh. Betapa terkejut dan menyesalnya dia! Andai saja dia tahu bahwa rumah itu adalah untuknya sendiri, tentu akan dia bangun dengan sepenuh hati, dengan material terbaik, dan dengan detail paling sempurna. Dia telah mengorbankan kualitas rumahnya sendiri hanya karena sikapnya yang asal-asalan.
Ibrah untuk Kehidupan Kita
Kisah ini adalah metafora yang sangat kuat untuk kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari. Tanpa kita sadari, kita sering bersikap seperti tukang batu itu.
Kita mengeluh tentang pekerjaan, mengerjakan tugas dengan setengah hati, mencari jalan pintas, dan hanya berusaha memenuhi target semata. Kita lupa bahwa sesungguhnya, segala yang kita bangun, kita kerjakan, dan kita usahakann betapapun kecilnya adalah "rumah" kita sendiri untuk masa depan.
Allah SWT, Sang Maha Pemberi Rezeki dan Pemilik Segala sesuatu, telah memberikan kita kepercayaan (amanah) untuk 'membangun' selama kita hidup di dunia. Dia memberikan kita kebebasan untuk memilih 'material' apa yang akan kita gunakan: material kejujuran atau kecurangan, material dedikasi atau kelalaian, material keikhlasan atau pamrih.
Dan pada akhirnya, segala yang kita kerjakan itu akan kembali kepada kita. Pepatah lama selalu benar: Siapa menanam, pasti akan menuai. Setiap kebaikan, setiap ketekunan, setiap integritas yang kita tanam dalam pekerjaan kita, adalah benih yang suatu hari nanti akan kita panen hasilnya, baik di dunia maupun yang lebih kekal di akhirat.
Allah Yang Maha Melihat (Al-Bashir) tidak pernah luput dari pengawasan-Nya setiap detail usaha kita. Sebuah senyuman tulus kepada rekan kerja, sebuah laporan yang disusun dengan jujur, proyek yang diselesaikan tepat waktu dengan kualitas terbaik, bahkan ketika tidak ada seorang pun yang melihat—semuanya tercatat sebagai amal kebaikan.
Marilah kita bekerja dengan penuh dedikasi dan integritas, seolah-olah segala yang kita lakukan adalah untuk “rumah” terakhir kita sendiri. Karena sesungguhnya, memang demikianlah adanya.
Anda ingin panen kebahagiaan dan kebaikan di akhirat kelak? Silakan berbuat baik setiap saat. Bangunlah "rumah" kehidupan Anda dengan material terbaik: keikhlasan, ketulusan, dan profesionalisme. Jangan tunggu sampai penyesalan itu datang, karena saat itu, segala sesuatu telah menjadi akhir yang membuat hati kecewa.
Bekerjalah sepenuh hati, bukan untuk manusia, tetapi untuk-Nya. Karena hasil terbaik bukan hanya tentang apa yang kita dapatkan, tetapi tentang siapa diri kita menjadi.